Nih kali ini gue mau share tentang sebuah cerita yang gue dapet dari salah satu forum di internet. . Cekidot
Aku bertemu dengannya, bukan karena kesengajaan akan tetapi karena suatu hal yang ketika itu harus membuatnya datang menemuiku. Namanya Arno, kuliah di salah satu Universitas di Makassar dan mengambil jurusan sastra. Dan sejak saat itu aku bersahabat dengannya. Entahlah aku pun bingung kenapa bisa begitu akrab dengannya, mungkin karena dia emang orangnya supel, enak diajak ngobrol, nyambung dan super cerewet hingga memungkinkan semua itu terjadi.
Bukan hanya itu dia orangnya baik dan pengertian, bahkan mau nemenin aku , kemana pun aku mau.
Akan tetapi semua itu hanya sebentar, ketika suatu saat dia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Mulanya aku hanya menganggap biasa, karena emang dia sering seperti itu, tapi kali ini dia menekanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku bingung mesti jawab apa.
“No…kamu jangan canda melulu deh, kita bahas yang lain aja yah.” Ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Tapi Rin, aku itu serius! Aku suka sama kamu, koq kamu ga bisa ngerti itu sih.”
Aku hanya diam, tak menanggapi pertanyaan Arno. Pertanyaan yang memang sengaja aku hindari, karena aku ga tau jawabannya sama sekali.
“Rin, kamu jangan diam aja dong, aku butuh jawaban kamu, aku ingin tau apa kamu itu juga sayang ma aku atau tidak.”
Yah aku sayang ma kamu No, tapi rasa sayang itu hanya sebatas teman, ga lebih. Batinku dalam hati.
“No…besok aku mau ke toko buku, kamu mau ga nemenin aku?”
“Koq malah mengalihkan pembicaraan melulu sih Rin?, Ok…aku temenin kamu, tapi kamu jawab dulu dong pertanyaan aku.”
“Bisa ga No, kita ga ngebahas itu sekarang, karena aku ga tau, aku mesti jawab apa ke kamu, aku bingung No…bingung dan sangat bingung dengan semua ini.” Ucapku setengah teriak.
Arno diam,begitu pun aku. Bukan aku ingin mengecewakannya tetapi terlalu sulit bagiku. Aku betul-betul dilema, pilihan yang begitu sulit bagiku.
Aku tahu, aku terlalu egois untuk mengakui hal yang tersembunyi dalam diriku, bukan karena aku mencintainya, aku hanya ingin menyayanginya sebagai teman. Tapi kurasa alasanku terlalu sulit untuk ia terima. Aku terkekang sendiri, rasa cinta tak bisa dipaksakan akan tetapi jika itu tak kulakukan maka ku yakin, aku akan kehilangannya. Aku egois menginginkannya tapi tak bisa mencintainya. Aku memberontak pada diriku sediri.
Sehari kemudian Arno menghubungiku lewat pesan singkat, singkat dan benar-benar singkat, isinya hanya “Yes or No?”. Tanpa pikir panjang kubalas pesannya “tak ada jawaban untuk pertanyaanmu No, karena itu sama sekali tak butuh jawaban.” Dengan penuh harap Arno mau mengerti keadaanku.
Kembali kukurimi ia pesan, mengajaknya bertemu di taman kampus namun semuanya tak sesuai yang kuharapkan dan itulah yang kutakutkan. Arno bilang tak mau lagi bertemu denganku, butuh waktu cukup lama untuk bisa melakukannya lagi. Aku emosi, aku tahu kejadiannya pasti akan seperti ini, sudah seperti cerita sinetron yang sudah disetting sedemikian rupa.
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengutuk cinta. Kenapa harus ada rasa cinta diantara kami?, Mengapa ada cinta jika hanya menghancurkan persahabatan kami. Itulah fikirku saat itu. Entahlah…aku mungkin telah jahat pada Arno, tapi yah harus seperti ini, dan memang harus begini, fikirku tak karuan.
Sejak saat itu Arno menghilang, tak pernah menemuiku dan tak pernah menghubungiku lagi. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menghubunginya juga, bukan karena ingin balas dendam tapi karena percuma. Hingga suatu saat tiba-tiba ia datang menemuiku. Hal pertama yang ia katakan.
“Gimana rasanya dikerjain Rin?”
“Dikerjain…??? Maksudnya???” tanyaku heran.
Arno tertawa, yang menurutku tawa yang paling menjengkelkan sedunia.
“Yang kemaren-kemaren itu, aku ngerjain kamu kalee Rin, kamu serius yah.” Ucapnya sembari tertawa.
Aku bengong aja dan ga tau mesti bilang apa. Mukaku rasanya seperti ditampar, bahkan aku ga bisa melukiskannya seperti apa.
“Kamu ga marah kan Rin…?, udah lama aku ga ngerjain kamu jadinya kefikiran ngerjain kamu lagi, biar bisa liat muka manyun kamu. He…he…he…he…”
Gila dan benar-benar gila, mana mungkin aku bisa percaya begitu saja pada omongan Arno. Dia ngerjain aku dengan cara seperti ini, apakah ini lucu? Apa dia melihatku seperti patung yang tak berperasaan? Apa dia fikir aku ini tak punya perasaan sehingga seenaknya saja dia mempermainkan aku dengan cara seperti ini.
Kamu jahat banget sih No,,,kamu bener-bener tega ngelakuin semua ini ke-aku! Batinku dalam hati.
“Pa kabar kamu No…? tumben datang” ucapku sembari mencoba menghilangkan semua rasa kesel dalam hatiku.
“Baik koq Rin, yah nie baru bisa datang lagi, terlalu sibuk, tugas numpuk Ri.” Ucapnya seperti tak terjadi apa-apa.
Aku menghela nafas panjang, mencoba menata perasaanku yang seperti benang kusut tak beraturan. Kini aku tahu, cinta hanya dijadikan ajang untuk menghancurkan perasaan. Masih untung, aku tak jatuh cinta padanya, karena jika ia sanggupkah aku menerima kenyataan kalau semuanya itu hanya palsu. Dan aku rasa, aku ga akan pernah sesanggup itu. Aku hanya berharap Arno tak melakukan hal seperti itu lagi padaku, dan rasa kesel ini mungkin tak akan pernah hilang sampai kapan pun.
“No…besok temenin aku ke toko buku yah.” Ucapku saat ia berpamitan pulang.
Arno berbalik menatapku dan tersenyum. Senyum yang tak bisa kuartikan, apakah Ya atau Tidak.
Aku bertemu dengannya, bukan karena kesengajaan akan tetapi karena suatu hal yang ketika itu harus membuatnya datang menemuiku. Namanya Arno, kuliah di salah satu Universitas di Makassar dan mengambil jurusan sastra. Dan sejak saat itu aku bersahabat dengannya. Entahlah aku pun bingung kenapa bisa begitu akrab dengannya, mungkin karena dia emang orangnya supel, enak diajak ngobrol, nyambung dan super cerewet hingga memungkinkan semua itu terjadi.
Bukan hanya itu dia orangnya baik dan pengertian, bahkan mau nemenin aku , kemana pun aku mau.
Akan tetapi semua itu hanya sebentar, ketika suatu saat dia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Mulanya aku hanya menganggap biasa, karena emang dia sering seperti itu, tapi kali ini dia menekanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku bingung mesti jawab apa.
“No…kamu jangan canda melulu deh, kita bahas yang lain aja yah.” Ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Tapi Rin, aku itu serius! Aku suka sama kamu, koq kamu ga bisa ngerti itu sih.”
Aku hanya diam, tak menanggapi pertanyaan Arno. Pertanyaan yang memang sengaja aku hindari, karena aku ga tau jawabannya sama sekali.
“Rin, kamu jangan diam aja dong, aku butuh jawaban kamu, aku ingin tau apa kamu itu juga sayang ma aku atau tidak.”
Yah aku sayang ma kamu No, tapi rasa sayang itu hanya sebatas teman, ga lebih. Batinku dalam hati.
“No…besok aku mau ke toko buku, kamu mau ga nemenin aku?”
“Koq malah mengalihkan pembicaraan melulu sih Rin?, Ok…aku temenin kamu, tapi kamu jawab dulu dong pertanyaan aku.”
“Bisa ga No, kita ga ngebahas itu sekarang, karena aku ga tau, aku mesti jawab apa ke kamu, aku bingung No…bingung dan sangat bingung dengan semua ini.” Ucapku setengah teriak.
Arno diam,begitu pun aku. Bukan aku ingin mengecewakannya tetapi terlalu sulit bagiku. Aku betul-betul dilema, pilihan yang begitu sulit bagiku.
Aku tahu, aku terlalu egois untuk mengakui hal yang tersembunyi dalam diriku, bukan karena aku mencintainya, aku hanya ingin menyayanginya sebagai teman. Tapi kurasa alasanku terlalu sulit untuk ia terima. Aku terkekang sendiri, rasa cinta tak bisa dipaksakan akan tetapi jika itu tak kulakukan maka ku yakin, aku akan kehilangannya. Aku egois menginginkannya tapi tak bisa mencintainya. Aku memberontak pada diriku sediri.
Sehari kemudian Arno menghubungiku lewat pesan singkat, singkat dan benar-benar singkat, isinya hanya “Yes or No?”. Tanpa pikir panjang kubalas pesannya “tak ada jawaban untuk pertanyaanmu No, karena itu sama sekali tak butuh jawaban.” Dengan penuh harap Arno mau mengerti keadaanku.
Kembali kukurimi ia pesan, mengajaknya bertemu di taman kampus namun semuanya tak sesuai yang kuharapkan dan itulah yang kutakutkan. Arno bilang tak mau lagi bertemu denganku, butuh waktu cukup lama untuk bisa melakukannya lagi. Aku emosi, aku tahu kejadiannya pasti akan seperti ini, sudah seperti cerita sinetron yang sudah disetting sedemikian rupa.
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengutuk cinta. Kenapa harus ada rasa cinta diantara kami?, Mengapa ada cinta jika hanya menghancurkan persahabatan kami. Itulah fikirku saat itu. Entahlah…aku mungkin telah jahat pada Arno, tapi yah harus seperti ini, dan memang harus begini, fikirku tak karuan.
Sejak saat itu Arno menghilang, tak pernah menemuiku dan tak pernah menghubungiku lagi. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menghubunginya juga, bukan karena ingin balas dendam tapi karena percuma. Hingga suatu saat tiba-tiba ia datang menemuiku. Hal pertama yang ia katakan.
“Gimana rasanya dikerjain Rin?”
“Dikerjain…??? Maksudnya???” tanyaku heran.
Arno tertawa, yang menurutku tawa yang paling menjengkelkan sedunia.
“Yang kemaren-kemaren itu, aku ngerjain kamu kalee Rin, kamu serius yah.” Ucapnya sembari tertawa.
Aku bengong aja dan ga tau mesti bilang apa. Mukaku rasanya seperti ditampar, bahkan aku ga bisa melukiskannya seperti apa.
“Kamu ga marah kan Rin…?, udah lama aku ga ngerjain kamu jadinya kefikiran ngerjain kamu lagi, biar bisa liat muka manyun kamu. He…he…he…he…”
Gila dan benar-benar gila, mana mungkin aku bisa percaya begitu saja pada omongan Arno. Dia ngerjain aku dengan cara seperti ini, apakah ini lucu? Apa dia melihatku seperti patung yang tak berperasaan? Apa dia fikir aku ini tak punya perasaan sehingga seenaknya saja dia mempermainkan aku dengan cara seperti ini.
Kamu jahat banget sih No,,,kamu bener-bener tega ngelakuin semua ini ke-aku! Batinku dalam hati.
“Pa kabar kamu No…? tumben datang” ucapku sembari mencoba menghilangkan semua rasa kesel dalam hatiku.
“Baik koq Rin, yah nie baru bisa datang lagi, terlalu sibuk, tugas numpuk Ri.” Ucapnya seperti tak terjadi apa-apa.
Aku menghela nafas panjang, mencoba menata perasaanku yang seperti benang kusut tak beraturan. Kini aku tahu, cinta hanya dijadikan ajang untuk menghancurkan perasaan. Masih untung, aku tak jatuh cinta padanya, karena jika ia sanggupkah aku menerima kenyataan kalau semuanya itu hanya palsu. Dan aku rasa, aku ga akan pernah sesanggup itu. Aku hanya berharap Arno tak melakukan hal seperti itu lagi padaku, dan rasa kesel ini mungkin tak akan pernah hilang sampai kapan pun.
“No…besok temenin aku ke toko buku yah.” Ucapku saat ia berpamitan pulang.
Arno berbalik menatapku dan tersenyum. Senyum yang tak bisa kuartikan, apakah Ya atau Tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar